“ Pendidikan dan Aspek
politik “
Dosen Pembimbing:
Tellys Carolina
Disusun Oleh :
Ahmad Fachrudin
(1507015005)
Reza Pratama (1507015062)
Robbiatunnada ( 1507015040 )
Samsuri ( 1507015066 )
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR.
HAMKA
2016
Kata Pengantar
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia
mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memahami tentang arti dari “Pendidikan
dan aspek politik”. Dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak rintangan
yang dialami. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari
luar. Namun, dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Pendidikan dan aspek politik” yang sengaja dibuat
demi menyelesaikan tugas mata kuliah manajemen pendidikan islam. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Jakarta, 30 mei 2016
PENYUSUN
DAFTAR ISI
G. Pendidikan dan Kepentingan Politik
Sekolah Sebagai Politik…………………………………………………21
BAB III23
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan
dalam masyarakat modern dewasa ini, seperti di Indonesia telah menjadi wacana publik. Mulai berkembangnya pengkajian
tentang kebijakan pendidikan ke ranah publik dapat kita cermati mengenai
pelaksanaan amandemen-amandemen keempat Undang Undang Dasar yang mengatakan
bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diperuntukkan bagi pengembangan
pendidikan nasional
Terlepas dari
itu semua, pada zaman modern ini setidaknya telah membuka wawasan bagi seluruh
masyarakat Indonesia, baik masyarakat modern atau masyarakat tradisional terkait pentingnya pendidikan
berikut upaya-upaya/cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan
adalah salah satu kunci untuk membuka wawasan masyarakat. Selain dari
pendidikan, politik yang ada dalam masyarakat besar maupun kecil perlu kiranya
dibedah selebar-lebarnya agar masyarakat paham akan pentingnya pendidikan yang
ada di Indonesia dan memanfaatkan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat harus paham betul
pentingnya politik pendidikan karena muara politik pendidikan menuju kepada
kebijakan pendidikan, bukan semata-mata politisasi pendidikan. Hal ini perlu
dipertegas karena bagi masyarakat kecil atau tradisional beranggapan bahwa politik
adalah kotordan lain sebagainya. Sehingga masih menjadi perdebatan apakah dalam
dunia pendidikan ada yang menggunakan politik atau tidak
2.
Rumusan
masalah :
1.
Apa
itu Pengertian Pendidikan ?
2.
Bagaimana
Hubungan
Politik dan Pendidikan ?
3.
Apa
saja unsur-unsur Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
4.
Bagaimana Fungsi Politik Institusi Pendidikan?
5.
Bagaimana
Pengaruh
Pendidikan terhadap Politik ?
6.
Bagaimana
Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan?
Tujuan
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan dan untuk memberikan
pengetahuan kepada para pembaca
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pendidikan
Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu
sendiri.
Kemudian kita
berlanjut pada UU tentang adanya pendidikan tersebut, Menurut UU No. 20 tahun
2003 pengertian Pendidikan adalah sebuah usaha yang di lakukan secara sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaaan, membangun kepribadian, pengendalian diri, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara. Undang – undang inilah yang menjadi dasar berdidirinya proses
pendidikan yang ada di Negara Indonesia.
Pengertian
pendidikan menurut para Ahli, sebelum kita mengambil pendapat para filosofi
pendidikan dari orang barat, maka kita mengambil pengertian pendidikan
berdasarkan apa yang di sampaikan oleh bapak pendidikan Nasional Indonesia Ki Hajar
Dewantara, beliau telah menjelaskan tentang pengertian
pendidikan sebagai berikut :
“ Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Ki Hajar Dewantara.
“ Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Ki Hajar Dewantara.
Pengertian
pendidikan atau definisinya menurut pendapat para Ahli lain yaitu :
1.
Prof.Dr.M.JLangeveld :
“ Pendidikan
ialah pemberian bimbingan dan bantuan rohani bagi yang masih memerlukannya”.
2.
Prof. Zaharai Idris
seorang
Ahli Epistimologi juga menyampaikan pendapatnya tentang pengertian pendidikan ialah
:
“ Pendidikan ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya” .
“ Pendidikan ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya” .
3.
H. Horne :
“ Pendidikan adalah proses yang di lakukan terus
menerus dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah
berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti
termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari
manusia” .
4.
Ahmad D. Marimba :
Beliau
juga berpendapat bahwa Pendidikan adalah ” bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama“.
Terakhir Pengertian Pendidikan Menurut John
Dewey :
“ Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia” .
“ Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia” .
Pengertian
Politik
Pengertian Politik atau definisi dan makna politik secara umum
yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi
kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan
yang terkait dengan kondisi masyarakat.
Pandangan dari
para ahli terkait dengan politik.
1)
Aristoteles
Usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
2)
Joice Mitchel
Politik adalah pengambilan keputusan
kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
3)
Roger F. Soltau
Bermacam-macam kegiatan yang
menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurutnya
politik membuat konsep-konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan
pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
4)
Johan Kaspar Bluntchli
Ilmu politik memerhatikan
masalah kenagaraan yang mencakup paham, situasi, dan kondisi negara yang
bersifat penting.
5)
Hans Kelsen
Dia mengatakan bahwa politik
mempunyai dua arit, yaitu sebagai berikut.
a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan
tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan
dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Hubungan politik dan Pendidikan.
Pendidikan dan politik adalah dua
elemen penting dalam system sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju
maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian – bagian yang
terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa – apa. Padahal,
keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu
Negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi lembaga –
lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
masyarakat di Negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan
dan politik disetiap Negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang
telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian
para ilmuan.
Pendidikan sering dijadikan media dan
wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka
politik. Di Negara – Negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan
politk dimulai oleh Plato dalambukunya Republic yang membahas hubungan antara
ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Plato mendemonstrasikan dalam buku
tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan
yang terkait dengan lembanga – lembaga politik. Plato menggambarkan adanya
hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya
sakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Analisis Plato
tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan
pendidikan di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965
: 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik
terikat tanpa bias dipisahkan). Hubungan timbal balik antara politik dan
pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok
(group attitudes), masalah pengangguran (employment), dan peranan politik kaum
cendikia (the political role of the intelligentsia).
Dalam masyarakat yang lebih maju dan
berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai – nilai dan lembaga barat, pola
hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional ke pola modern.
Dibanyak Negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat kuat. Jika politik dipahami sebagai praktik
kekuatan, kekuasan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan –
keputusan otoritatif tentnag alokasi sumber daya dan nilai – nilai sosial
(Harman, 1974 : 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah
bisnis politik.
Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan
dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi.
Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur
politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan
aspek – aspek kependidikan.
1.
Kontrol Negara
terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak
menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak
mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis
bagi kehidupan manusia sehingga program – program dan proses yang ada di
dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang
diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat
pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang
pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu system pendidikan
yang memiliki kharakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk
memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan
control yang sangat ketat terhadap program – program pendidikan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh Negara maupun yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Pemerintah adalah bagian dari Negara yang
paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif
dari Negara, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri
dari berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri
dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Menurut Dale (1989: 39 - 43), control
Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara
legal. Kedua, system pendidikan
dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.
Ketiga, penerapan wajib pendidikan
(compulsory education). Keempat,
reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam
konteks tertentu. Dale (1989 : 59) menambahkan bahwa perangkat Negara dalam
bidang pendidikan, sepeti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek
tersendiri terhadap pola, proses, dan praktik pendidikan.
2.
Sketsa Politik
Pendidikan di Indonesia
Setiap periode perkembangan pendidikan
nasional adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena perkembangan
tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi,
karakteristik, dan kesadara politik yang banyak mempengaruhi masa depan bangsa
tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan
kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi,
kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan – kekuatan politik yang sedang
berkuasa.
Ada empat
strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
1.
Peningkatan
pemerataan kesempatan pendidikan
2.
Peningkatan
relevansi pendidikan dengan pembangunan
3.
Peningkatan
kualitas pendidikan
4.
Peningkatan
efisiensi pengelolaan pendidikan.
Sketsa
penyelenggaraan pendidikan di Negara ini dapat dibagi atas enam periode
perkembangan, yaitu :
1. Periode
pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga
pertengahan tahun 1800an. Pada masa ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air
mengarah pada sosialisasi nilai – nilai agama dan pembangunan keterampilan
hidup. Penyelenggaraan pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh
tokoh – tokoh agama.
2. Periode kedua adalah periode kolonial Belanda
yang berlangsung dari tahun 1800an hingga tahun 1945. Pada periode ini
penyelenggaraan pendidikan ditanah air diwarnai oleh proses modernisasi dan
pergumulan antara aktivitas pendidikan pemerintahan colonial dan aktivitas
pendidikan kaum pribumi. Disatu pihak, pemerintah colonial berusaha menempuh
segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak
bertentangan dengan kepentingan kolonialisme dan mencetak para pekerja yang
dapat diekploitasi untuk mendukung misi sosial, politik, dan ekonomi pemerintah
kolonial.
3. Periode ketiga adalah periode pendudukan
Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Berbagai kegiatan
pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai – nilai
dan semangat nasionalisme serta mengobarkan semangat kemerdekaan ke seluruh
lapisan masyarakat. Salah satu aspek perkembangan dunia pendidikan pada masa
periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar dalam lingkungan pendidikan formal.
4. Periode keempat adalah periode Orde Lama yang
berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan
pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai – nilai nasionalisme,
identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character
building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh
tokoh – tokoh nasionalis.
5. Periode kelima adalah periode Orde Baru yang
berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan
menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang,
khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi pendidikan
diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena focus utama
pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi.
6. Periode keenam adalah periode Reformasi yang
dimulai pada tahun 1998. Pada periode ini semangat desentralisasi,
demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi sehingga
penataan system pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan menelusuri
prinsip – prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang –
undangan terkait.
Politik
terhadap pendidikan Islam di Indonesia
Study kasus ini
sangat nyata ketika pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaanya selama 32
tahun, intervensi pemerintah melaui penyajian subjek tertentu dalam kurikulum
(seperti mata pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti
penataran P4), adalah bukti nyata bahwa pendidikan adalah salah satu sarana
kepentingan politik penguasa.
Mochtar Buchori, menyatakan
dalam pandanganya bahwa generasi politik yang mengatur kehidupan bangsa selama
periode orde baru tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai
menurun. Ekspansi system pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu
itu, tanpa diketehui dan dikehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-sekolah.
Kemerosotan ini terjadi, karena elit pendidikan yang sangat kecil yang dimiliki
saat itu, harus direntang panjang-panjang untuk memungkinkan ekspansi system
yang cepat tersebut.
Pada masa Orde
Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melakukan intervensi kepada semua
aspek kehidupan bernegara. Eksistensi penguasa concern utama bagi pemerintah,
sehingga intervensi yang dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan
bernegara sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan
kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat sikap apatis
dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk berfikir secara
demokratris, kristis, dan kreatif.
Sistem
pemerintahan Orde Baru ini, menghalangi munculnya gerakan oposisi sebagai
social control terhadap pemerintahan atau penguasa. Oposisi dalam suatu Negara
yang demokratis menjadi suatu keharusan poltik yang harus di tempatkan pada
posisi yang penting. Di Indonesia ini di gerakan oposisi di pandang oleh
penguasa sebagai pendobrak terhadap eksistensi pengauasa, sehingga munculnya
oposisi selalu tidak sepi oleh kecurigaan pengausa, di dukung oleh otoritarian.
Berbeda dengan
pernyataan sebelumnya kasus yang sama terjadi dimana masih terdapatnya pemimpin
kita baik dalam skala nasional maupun daerah menjadikan pendidikan (apalagi
pendidikan Islam) sebagai komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan
kadang-ladang menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya,
entah dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang Pilkada.
Sering
dilupakan oleh kalangan pendidik bahwa salah satu aspek penting dalam
pendidikan Islam adalah aspek politik. Dalam aspek ini di jelaskan hubungan
antara masyarakat dengan pemerintahan, hubungan antar Negara, hubungan
antarorganisasi, dan sebagainya. Atas dasar ini, antara pendidikan islam dengan
politik punya hubungan erat yang sulit untuk dipisahkan.
Dalam sejarah,
hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru. Sejak
zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan
perhatian yang cukup intens terhadap persoalan politik. Kenyataan ini misalnya
ditegaskan dengan ungkapan “As is the state, so is the school ”, atau “What you
want is the state, tou must put into the school “. Selain terdapat teori yang
dominant dalam demokrasi yang mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah
korelasi bagi suatu tatanan demokratis.
Pendidikan
dengan politik dapat dilacak sejak masa- masa pertumbuhan paling subur dalam
lembaga- lembaga pendidikan Islam. Sepanjang sejarah terdapat hubungan yang
amat erat antara politik dengan pendidikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari
pendirian beberapa lembaga pendidikan Islam di Timur Tengah yang justru
disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenal adalah madrasah
Nizhamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk,
Nizham al- Mulk. Madrasah ini terkenal dengan munculnya para pemikir besar.
Misalnya, Al- Ghozali sempat mentransfer pengetahuanya di lembaga ini, yakni
menjadi guru.
Di Indonesia,
munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang
cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara system pendidikan
tradisional dengan munculnya lembaga pendidikan modern dari Barat. Namun,
disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa peran ulama telah melahirkan system
budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping
spiritual. Hal ini terbukti bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan
studi ke universitas terkemuka baik di dalammupun di luar negeri.
Madrasah di
Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak
dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh
Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah
yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada
kemurnian mazhab.
Konsekuensi
dari keragaman orientasi pendidikan tersebut adalah munculnya para tokoh formal
dan informal yng memiliki pemikiran dan pergerakan politik yang berbeda, ada
yang berfikir lebih modernis, fundamentalis, tradisionalis dan nasionalis.
Meski prilaku politik seorang tokoh semata- mata tidak hany di tentukan oleh
institusi pendidikan tertentu dan masih ada factor lain (lingkungan,
sosiokultural, potensi berfikir, dan sebagainya), pengaruh suatu institusi
pendidikan cukup berarti dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang
untuk mempunyai paradigma berfikiryang berbeda.
Sejarah GUPPI
(Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan
sebagai sample mengenai korelasi signifikan antara pendidikan Islam dan
politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan
institusi pendidikan Islam. GUPPI yang sejak awal berdirinya merupakan wadah
organisasi Islam yang terbentuk sebagai sikap peduli para tokoh muslim setelah
melihat gejala besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang
berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.
Namun dalam
perjalanan berikutnya, strategi untuk meningkatkan perkembangan dan kualitas
pendidikan Islam, para tokoh- tokoh aktivis GUPPI lebih memilih untuk bergabung
dan berafiliai pada partai politik tertentu, dengan harapan bahwa melalui jalur
ini kepentingan GUPPI untuk mengembangakan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat
terpenuhi. Sayangnya, peran politik yang dimainkan oleh para aktivis GUPPI di
partai Golkar kurang maksimal, akhirnya cita- cita dan impian yang di capai
untuk menyalurkan kepentingan umat Islam dalam meningkatkan pendidikan Islam
kurang memenuhi harapan.
Terlepas dari
seluruh kegagalan tersebut, penulis hendak mengatakan bahwa keterlibatan dalam
berpolitik dapat menjadikan mediasi untuk mnyalurkan kepentingannya secara
individual maupun organisasi.
Secara umum
bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba jelas hanya
berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan manusia
penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru
merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta
melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya adalah generasi yang apatis
dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka jelas bukan
manusia yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan,
pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi
landasan kiprahnya.
Reformasi yang
telah bergulir, semestinya dapat merintis jalan bagi pemulihan kembali
demokratisasi yang selama beberapa dasawarsa mengalami diskontinuitas. Termasuk
dalam hal ini adalah upaya mengembalika fungsi dan peran pendidikan sebagiamana
dicita- citakan oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang
difomulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembenahan secara
fundamental terhadap system Pendidikan Nasional merupakan conditiosine quainin
yang harus dimulai dari tataran yang paling dasar visi sampai dengan
implementasi dalam kurikulum. Pada tataran paling dasar, tujuan pendidikan
untuk membentuk kepribadian manusia Indonesia yang tercerahkan dan memiliki
tanggung jawab, merupakan substansinya. Dengan landasan visi seperti ini, maka
pendidikan tidak lagi hanya ditujukan untuk memproduksi manusia terpelajar dan
berkeahlian demi malayani keperluan pasar tenaga kerja manusia yang di kuasai
oleh kehendak untuk mengontrol, mengekploitasi, dan berkuasa, tetapi yang di
pentingkan adalah pertumbuhannya manusia berbudaya yang dapat menghayati dan
memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas mengada (the community of being)
yang saling terkait satu sama lain dan karena saling menjaga dan membuahkan
mengeksploitasi.
Untuk
mewujudkan visi semacam itu di perlukan proses pendidikan yang menggunakan
pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses searah one way
communication. sebagaimana yang kita temukan diruang-ruang kelas mulai dari TK
hingga keuniversitas, proses belajar mengajar bukan lagi proses pencekokan
murid/mahasiswa dengan berbagai materi yang terkesan sangat normatif bahkan
sacral, tapi marupakan proses dialektika antara para pelakunya, dengan
mempersalahkan fenomena-fenomena yang hangat dalam masyarakat.
Akhirnya denga
perombakan system pendidikan nasional itulah kita berharap bahwa, pendidikan
akan menjadi factor utama dalam proses menjadi bangsa yang modern beradab serta
tercerahkan.
Pengaruh Politik Terhadap Pendidikan
Pendidikan
dan politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik
disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering
dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lainnya tidak memiliki
hubungan apa-apa, padahal saling bahu membahu dalam proses pembentukan
karakteristik masyarakat disuatu Negara, lebih dari itu juga saling menunjang
dan saling mengisi.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Diantara lembaga pendidikan Islam yang menjadi carong pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6) adalah Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Dia menyimpulkan dari analisisnya terhadap kasus madrasah tersebut sebagai berikut: “kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat menjalankan syariat. Bila politik berfungsi mengayomi di atas maka pendidikan harus melakukan pembenahan lewat arus bawah”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Menurut Albernetty dan Combe, hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek yaitu:
1. Pembentukan sikap kelompok (group attitude)
2. Masalah pengangguran (unemployment)
3. Peranan politik kaum cendekiawan (the political role of the intelligentsia).
Aspek pertama yaitu pembentukan sikap kelompok, dalam arti rakyat Indonesia telah menjadi korban imperialisme budaya, sehingga mereka cenderung menginginkan sistem pendidikan secara terpisah, maka dari itu timbul dua sistem yaitu:
1. Sistem keagaman Islam
2. Sistem non keagamaan Islam
3. Maka lahirlah sekolah Islam, sekolah Kristen dan lain-lain.
Aspek kedua masalah pengangguran, dalam arti dalam dunia politik seseorang itu dipersyaratkan harus mempunyai pendidikan yang cukup tinggi karena hanya publik yang terdidiklah yang diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan bagi mereka yang berpendidikan rendah pengangguranlah baginya.
Aspek ketiga peranan politik kaum cendekiawan, dalam arti para cendekiawan mempunyai peranan penting dalam politik, karena merekalah salah satu yang menjalankan roda pemerintahan dan mereka pulalah yang mempengaruhi maju mundurnya politik dalam suatu Negara. Karena yang dinamakan cendekiawan pasti dia adalah orang yang bersal dari kalangan ilmuan pendidikan yang sangat baik. Sehingga dia bisa berpereb dalam dunia politik, yang mana proses dan lembaga-lembega pendidikan memiliki banyak dimensi dan aspek politik. Sedangkan lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.
Adapun salah satu bukti pengaruh politik terhadap pendidikan yaitu berupa krisis yang dihadapi oleh Negara secara langsung dan vital, hal tersebut sangat mempengaruhi sistem pendidikan karena sistem pendidikan menyediakan tenaga kerja terlatih dan menghasilkan pengetahuan teknis untuk sistem ekonomi merupakan mekanisme yang nyaman, yakni dapat digunakan oleh Negara untuk mendomentrasikan kontrol rasional terhadap kejadian-kejadian ekonomi melalui perencanaan tenaga kerja dan rasio pengeluaran pribadi dan publik.
Merupakan agensi penting sosialisasi dalam rangka melegitimasi tatanan ekonomi dan politik.
Merupakan krusial dalam pengembangan motivasi dan komitmen dikalangan generasi muda.
Dari adanya bukti di atas tampak jelas bahwasannya antara politik dan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun pada dasarnya satu sama lain berlawanan arah, akan tetapi mempunyai satu tujuan. Seperti halnya uang koin, antara lambang mata uang yang depan dengan yang belakang berbeda arah, akan tetapi kaduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Diantara lembaga pendidikan Islam yang menjadi carong pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6) adalah Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Dia menyimpulkan dari analisisnya terhadap kasus madrasah tersebut sebagai berikut: “kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat menjalankan syariat. Bila politik berfungsi mengayomi di atas maka pendidikan harus melakukan pembenahan lewat arus bawah”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Menurut Albernetty dan Combe, hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek yaitu:
1. Pembentukan sikap kelompok (group attitude)
2. Masalah pengangguran (unemployment)
3. Peranan politik kaum cendekiawan (the political role of the intelligentsia).
Aspek pertama yaitu pembentukan sikap kelompok, dalam arti rakyat Indonesia telah menjadi korban imperialisme budaya, sehingga mereka cenderung menginginkan sistem pendidikan secara terpisah, maka dari itu timbul dua sistem yaitu:
1. Sistem keagaman Islam
2. Sistem non keagamaan Islam
3. Maka lahirlah sekolah Islam, sekolah Kristen dan lain-lain.
Aspek kedua masalah pengangguran, dalam arti dalam dunia politik seseorang itu dipersyaratkan harus mempunyai pendidikan yang cukup tinggi karena hanya publik yang terdidiklah yang diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan bagi mereka yang berpendidikan rendah pengangguranlah baginya.
Aspek ketiga peranan politik kaum cendekiawan, dalam arti para cendekiawan mempunyai peranan penting dalam politik, karena merekalah salah satu yang menjalankan roda pemerintahan dan mereka pulalah yang mempengaruhi maju mundurnya politik dalam suatu Negara. Karena yang dinamakan cendekiawan pasti dia adalah orang yang bersal dari kalangan ilmuan pendidikan yang sangat baik. Sehingga dia bisa berpereb dalam dunia politik, yang mana proses dan lembaga-lembega pendidikan memiliki banyak dimensi dan aspek politik. Sedangkan lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.
Adapun salah satu bukti pengaruh politik terhadap pendidikan yaitu berupa krisis yang dihadapi oleh Negara secara langsung dan vital, hal tersebut sangat mempengaruhi sistem pendidikan karena sistem pendidikan menyediakan tenaga kerja terlatih dan menghasilkan pengetahuan teknis untuk sistem ekonomi merupakan mekanisme yang nyaman, yakni dapat digunakan oleh Negara untuk mendomentrasikan kontrol rasional terhadap kejadian-kejadian ekonomi melalui perencanaan tenaga kerja dan rasio pengeluaran pribadi dan publik.
Merupakan agensi penting sosialisasi dalam rangka melegitimasi tatanan ekonomi dan politik.
Merupakan krusial dalam pengembangan motivasi dan komitmen dikalangan generasi muda.
Dari adanya bukti di atas tampak jelas bahwasannya antara politik dan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun pada dasarnya satu sama lain berlawanan arah, akan tetapi mempunyai satu tujuan. Seperti halnya uang koin, antara lambang mata uang yang depan dengan yang belakang berbeda arah, akan tetapi kaduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Fungsi Politik Institusi Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan
sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga
dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan signifikan.
Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik.
Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama
anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang
system politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Institusi pendidikan sebagai alat kekuasaan?
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola piker kaum muda, agar sejalan dengan doktin komunisme.
Di Indonesia, hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yng dikeluarkan juga untuk menunjang daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32 tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu berpihak pada Soeharto.
Institusi pendidikan sebagai alat kekuasaan?
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola piker kaum muda, agar sejalan dengan doktin komunisme.
Di Indonesia, hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yng dikeluarkan juga untuk menunjang daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32 tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu berpihak pada Soeharto.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan
rezim Soeharto pada tahun 1998 tela membawa perubahan mendasar pada beberapa
aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang
cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan
national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alas an utama hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
Sedangkan pada tulisan yang brhubungan dengan fungsi politik dan institusi pendidikan ini penulis mencoba menggunakan pendekatan secara historis, diatas dituliskan sejarah masa orde baru dalam membuat kebijakan pendidikan.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alas an utama hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
Sedangkan pada tulisan yang brhubungan dengan fungsi politik dan institusi pendidikan ini penulis mencoba menggunakan pendekatan secara historis, diatas dituliskan sejarah masa orde baru dalam membuat kebijakan pendidikan.
Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan
Pengertian dan Jenis Desentralisasi
Menurut Bray (1984, hal. 5) desentralisasi adalah “proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi”. Adapun menurut Burnett et al (19950, desentralisasi pendidikan adalah “otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas local yang dapat dipertanggung jawabkan kepada orang tua dan komunitas” Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.”
Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan bisa bersifat politik atau demokratik dan bisa juga bersifat administrastif (Fiske dan Drost 1998, hal. 17-19). Desentralisasi pendidikan bersifat politik dan demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem. Desentralisasi dmiistratif atau birokrasi merupakan suatu strategi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan pejabat-pejabat pusat tetapi tanggung jawab untuk perencanan , manajemen, keuangan, dan kegiatan-kegiatan lainnya diserahkan kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah atau badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem.
Dilihat dari jenis wewenagnya yang diberikan, desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : Pertama, Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab sebagai manajemen dari pusat ke provinsi atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat mempunyai control penuh. Kedua, Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih ekstensif, dimana lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang ke pemerintah ditingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke organisasi-organisasi otonom. Ketiga, Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya, yakni menyarahkan wewenang keuangan, administrasi atau urusan secara permanent dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di pusat begitu saja.
Catatan:
Perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas. Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak mengubahkinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status de yure, bukan status de facto system pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dala system pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam system pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar mnjadi status de facto system pendidikan nasional, maka desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi. Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
Menurut Bray (1984, hal. 5) desentralisasi adalah “proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi”. Adapun menurut Burnett et al (19950, desentralisasi pendidikan adalah “otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas local yang dapat dipertanggung jawabkan kepada orang tua dan komunitas” Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.”
Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan bisa bersifat politik atau demokratik dan bisa juga bersifat administrastif (Fiske dan Drost 1998, hal. 17-19). Desentralisasi pendidikan bersifat politik dan demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem. Desentralisasi dmiistratif atau birokrasi merupakan suatu strategi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan pejabat-pejabat pusat tetapi tanggung jawab untuk perencanan , manajemen, keuangan, dan kegiatan-kegiatan lainnya diserahkan kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah atau badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem.
Dilihat dari jenis wewenagnya yang diberikan, desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : Pertama, Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab sebagai manajemen dari pusat ke provinsi atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat mempunyai control penuh. Kedua, Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih ekstensif, dimana lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang ke pemerintah ditingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke organisasi-organisasi otonom. Ketiga, Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya, yakni menyarahkan wewenang keuangan, administrasi atau urusan secara permanent dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di pusat begitu saja.
Catatan:
Perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas. Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak mengubahkinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status de yure, bukan status de facto system pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dala system pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam system pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar mnjadi status de facto system pendidikan nasional, maka desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi. Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
Pendidikan Dan Kepentingan Politik: Sekolah Sebagai Alat Politik
Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh
Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public
melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan
menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat
dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami
proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi
negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan.
Pendidikan dimaknai sekolah dengan
batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik,
dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang
bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang
kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan
sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap
belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias
mendukung ijazah ini laku atau tidak.Sekolah dengan desain politik seperti ini
telah merebut kebebasan dan kemanusiaan.
Sekolah bukan lagi mengemban misi
pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan
ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara
sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:
Ø Mengapa
sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana
proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham
terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu
saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang
harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi
pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus
mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar
dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah
yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
Ø Secara
institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang
berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal.
Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan
pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki
kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban
yang berkeadaban.Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka
pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan
kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur
keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka
harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.
Sedangkan
menurut Hari Sucahyo dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam
Pendidikan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan
politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan
terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi)
dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak
memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka
begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat
dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor
pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak
mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana
mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta
bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin.
BAB
III
KESIMPULAN
pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang
sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
Menurut UU No. 20
tahun 2003 pengertian Pendidikan adalah sebuah usaha yang di lakukan secara
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaaan, membangun kepribadian, pengendalian diri,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pengaruh Politik Terhadap Pendidikan yaitu Pendidikan dan politik keduanya
merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik
Negara maju maupun Negara berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Amnur Ali Muhdi. 2007. Konfigurasi
Politik Pendidikan Nasional. Pustaka Fahima. Yogyakarta.
Sirozi Muhammad. 2010. Politik
Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tilaar, H.A.R. & Riant
Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka.
Jakarta.
Sirozi,
M.2005.Politik Pendidikan.Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
http:/re-searchengines.com/art05-73.html/
http:
//www.scribd.com/doc/2058421/politik-indonesia
http:/jawabali.com/pendidikan/politik-pendidkan-557