Rabu, 30 November 2016

Filsafat Pendidikan

Pemikiran Tentang Tuhan Dan Hubungannya Dengan Pendidikan
A.    Dasar Pemikiran
Terdapat sejumlah pemikiran yang melatarbelakangi perlunya membahas tentang Tuhan dalam hubungannya dengan pendidikan (khususnya pendidikan Islam) sebagai berikut.
Pertama, bahwa dalam rumusan tujuan pendidikan, selalu disebutkan, bahwa tujuan pendidikan yang utama adalah membentuk manusia agar beriman kepada Allah SWT. Yang dilanjutkan dengan berbuat amal saleh, yakni amal yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dan Rasul-Nya serta bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti memberikan makan fakir miskin, membantu orang dari berbagai kesulitan dan penderitaan, membantu biaya pendidikan dan kesehatan bagi orang yang kurang mampu dan sebagainya. Dengan adanya rumusan yang demikian itu, maka dalam membahas pendidikan ini terlebih dahulu perlu membahas tentang Tuhan.
Kedua, bahwa sehubungan dengan tujuan pendidikan yang demikian itu, di dalam kurikulum pendidikan juga terdapat materi kajian tentang iman kepada Tuhan dengan segala sifat-Nya sebagaimana terdapat dalam mata pelajaran Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam, dan sebagainya. Dengan demikian, kajian tentang Tuhan menjadi penting ntuk dilakukan. Di negara-negara yang bercorak sekuler, seperti Amerika dan Jepang tidak terdapat pelajaran agama, karena masalah agama adalah urusan pribadi yang diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Sedangkan di negara-negara yang berasaskan Islam atau Pancasila seperti Indonesia, pelajaran tentang agama dan ketuhanan termasuk urusan pemerintahan.
Ketiga, bahwa dalam ideologi pendidikan Barat terdapat berbagai aliran. Di antaranya ada aliran konservatif, aliran odern, dan aliran liberal. Sedangkan dalam ideologi pendidikan Islam memiliki perbedaan dengan ideologi pendidikan Barat tersebut. Dalam ideologi pedidikan Islam terdapat perpaduan antara usaha manusia dan kehendak Tuhan atau yang dikenal dengan humanisme teocentris. Sedangkan dalam teori pendidikan Barat sepenuhnya bercorak anthropocentris, humanistic, sekularistik, dan positivistic, yakni aliran atau ideologi yang semata-mata mengandalkan kemampuan manusia. Dalam upaya memberikan gambaran tentang ideologi yang bercorak humanisme teocentris tersebut berkaitan erat dengan masalah ketuhan.

B.     Kepercayaan kepada Tuhan
Pembicaraan tentang Tuhan dengan berbagai aspek-Nya bukan saja menjadi topic utamadalam kajian filsafat Islam, melainkan juga menjadi kajian utama dalam Ilmu Kalam, Tasawuf, dan bidang studi Islam lainnya. Hal ini antara lain disebabkan, karena seluruh sumber utama dalam studi Islam adalah Kitab Suci Al-Quán yang merupakan firman Tuhan, dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan kehendak-Nya. Berbagai pandangan tentang Tuhan yang dikaji dalam berbagai ilmu tersebut dapat dikemukakan berikut.
1.      Kajian tentang Tuhan dalam Ilmu Kalam
Di dalam kalangan para ahli ilmu kalam, kajian terhadap Tuhan, terutama dari segi sifat dan perbuatan-nya di lakukan sangat mendalam. Berbagai dalil, baik yang bersumber pada Al-Qurán, al-Sunnah, fenomena alam, sejarah, filsafat dan lainnya telah digunakan. Demikian pula berbagai aliran dan mazhab yang disebabkan karena perbedaan dalam memahami tentang relasi manusia dan alam dengan Tuhan, telah melahirkan aliran yang sepenuhnya tanduk pada Tuhan (Jabariyah), aliran yang memiliki kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan antara mengikuti atau tidak mengikuti Tuhan (Qadariyah), dan aliran yang memadukan antara mengikuti kehendak Tuhan dan kehendak manusia juga telah berkembang sedemikian rupa. Namun demikian, perdebatan tentang Tuhan yang dilakukan berbagai aliran tersebut tidak membawa mereka keluar dari Islam, sebab yang mereka perdebatkan itu bukanlah hal yang pokok, melainkan hal-hal yang bersifat cabang (furuíyah), seperti apakah sifat Tuhan itu melekat pada zat-Nya atau terpisah; apakah Al-Qurán itu diciptakan (baharu / al-Hadits) atau tidak diciptakan (al-qadim), apakah manusia memiliki kehendak yang penuh (jabariyah), apakah orangg mukmin yang berdosa dan meninggal sebelum sempat bertaubat akan kekal dalam neraka, atau hanya sementara saja, dan sebagainya. Semua perdebatan tersebut tidak membawa mereka keluar dari Islam, karena yng mereka perdebatkan bukan hal yang pokok. Mereka semuanya percaya pada rukun iman yang enam. Selama mereka masih percaya pada rukun iman yang demikian itu, maka masih dianggap sebagai orang yang beriman.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT.

Artinya: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.
Beberapa ayat trsebut di atas, selain menyatakan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai tempat memohon, juga memerintahkan agar manusia mengenal-Nya dengan cara mempelajari ilmu yang berkaitan dengannya, yang dalam hal ini adalah Ilmu Kalam. Melalui Ilmu Kalam ini akan dapat disingkirkan berbagai kepercayaan yang menyimpang yang akan merugikan manusia. Di dalam Al-Qu’an misalnya dikemukakan tentang beberapa aliran yang dinilai tercela sebagai berikut.
Pertama, golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan, bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja
Kedua, golongan musyrik yang menyembah binatang-binatang, bukan, matahari, yang mempertuhankan Nabi Isa dan Ibunya, dan yang menyebah berhala-berhala.
Ketiga, golongan yang tidak percaya terhadap kerasulan para Nabi, dan tidak percaya kepada kehidupan kembali di akhirat nanti.
Keempat, golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalahbperbuatan Tuhan sepenuhnya, tanpa ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang Munafiq).
Menghadapu berbagai pandangan dan pemikiran dari berbagai golongan tersebut, Tuhan memberikan bantahan dengan alasan yang meyakinkan, dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. agar menjalankan dakwahnya dengan mengemukakan berbagai argumen dengan cara yang bijak dan santun.

2. Kajian Tentang Tuhan dalam Ilmu Tasawuf
Di kalangan para ahli tasawuf kajian tentang Tuhan tampak lebih mendalam lagi. Dalam Ilmu Tasawuf yang dipentingkan bukan hanya sekedar mengetahui sifat dan perbuatan Tuhan tetapi yang lebih dipentingkan lagi adalah dapat mengetahui, memahami, mengenal, mendekati, menyintai dan mencintai Tuhan, bahkan dapat berkomunikasi dan bersatu secara batiniah dengan Tuhan. Melalui proses seperti itu, manusia akan mendapatkan pancaran enegri dari Tuhan yang selanjutnya memberi pengaruh terhadap perasaan, ucapan, dan perbuatannya. Keadaan ini pada gilirannya, menyebabkan ia selalu ingat pada Tuhan, menampak perilaku dan akhlak yang mulia sebagaimana yang dimiliki Tuhan. Dengan keadaan yang demikian itu, maka ia akan terhibdar dari berbagai perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Beberapa dalil Al-Qur’an dan hadis yang menjadi sumber lahirnya ilmu tasawuf sebagaimana tersebut di atas, antara lain:
Dikalangan para ahli tasawuf, bahwa mengenal dekat, dan cinta kepada Tuhan tidak hanya dilakukan dengan menunjukkan amal ibadah dan perbuatan yang baik, melainkan disertai dengan sejumlah amalan yang khusus di luarvketentuan ibadah yang umumnya dikerjakan manusia, seperti zikir (menyebut nama Allah) dalam jumlah sekian kali, membaca tasbih (subahanallah), membaca tahmid (alhamdulillah), membaca tahlil (laailaaha illa Allah), membaca hawalah (laa haula wa laa kuwwatailla billah), membaca takbir (Alahu Akbar), membaca istighfar (astaghfirullah al-adzim) dalam jumlah tertentu. Dari sekian bacaan tersebut terlihat dengan jelas, bahwa yang menjadi arah dan tujuannya adalah mengenal, mendekat, dan mencintai Allah SWT. dengan segenap jiwa dan raga, serta menyerahkan hidup sepenuhnya kepada kehendak-Nya.


3. Kajian Tentang Tuhan dalam Filsafat Islam
Kajian tentang Tuhan dalam filsafat Islam, antara lain dapat dilihat dari pemikiran filsafat yang dikemukakan para filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagaib pendapat Aristoteles. Ia lebih dekat dengan faham Plotinus yang mengatakan, bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari  alam ini dan sumber dari yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.
Selanjutnya al-Farabi berpendapat, bahwa Tuhan bersifqt Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apau pun. Alam jagat raya terjadi dengan cara emanasi (pancaran) yang cara kerjanya sebagai berikut.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud-I (al-wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud-wujud lainnya hingga mencapai wujud kesebelasan akal kesepuluh, dan sembilan planet. Dari setiap wujud dan akal tersebut terjadi proses berpikir (al-ta’aqqul) yang selanjutnya dari wujud kesebelasan muncul bumi, roh, dan material asal berupa air, udara, api, dan tanah. Dan dari material asal inilah kemudian timbul alam lain berupa alam jamadat, nabatat, (tumbuhan), hayawanat (binatang) dan al-insaniyat (manusis) yang masing-masing memiliki jiwa.
Dengan cara emanasi inilah, para filsuf ingin menjelaskan tentang proses penciptaan alam jagat raya dengan segala isinya tanpa mengganggu keesaan dan kesucian Tuhan. Dan dengan cara itu pula, para filsuf akan terhindar dari perbuatan musyrik, yakni menyebkutukan Tuhan.
C.     Hubungan Keimanan kepada Tuhan dengan Pendidikan
Pehaman terhadap keesan Tuhan dengan segala sifat-sifat sebagaimana tersebut di atas, memiliki hubungan yang erat dalam rangka mengembangkan pemikiran pendidikan. Hubungan tersebut dapat dikemukakan dengan analisis sebagai berikut.
Pertama, berkaitan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan. Iman kepada Tuhan akan memengarahui visi pendidikan, yaitu menjadikan pendidikan sebagai sarana yang unggul dan kredibel dalam membentuk manusia yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sedangkan misinya antara lain membentuk manusia agar beribadah kepada Allah SWT.; manusia yang ampu mengelola alam jagat raya untuk kemaslahatan manusia; manusia yang mengerjakan perbuatan yang diperintahkan Allah SWT. dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan tujuannya adalah mebentuk manusia yang beriman, bertakwa, berbudi pekerti yang luhur, menjadi hamba Alah SWT., menjadi orang yang seimbangdalam hubungannya denganTuhan dandengan sesame manusia, manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, dan manusia yang berbudi pekerti mulia dan manusia yang rela berjuang di jalan Allah SWT.
Kedua, berkaitan dengan ideologi pendidikan, yaitu cita-cita dan tujuan tertinggi dalam pendidikan Islam yang selanjutnya menjiwai seluruh komponen pendidikan. Iman kepada Tuhan akan menjadi landasan ideologi pendidikan yang humanisme teocentris, yakni pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan pada nilai-nilai yang berasal dari akal pikiran manusia, melainkan juga nilai-nilai yang didasarkan pada kehendak Allah SWT. Pada paham nativisme sebagaimana dikemukakan Arthur Schopenhauer, bahwa pendidikansepenuhnya ditentukan oleh pembawaan dari dalam diri manusia, dan pada paham empirisme, sebagaimana dikemukakan Jihn Locke bahwa pendidikan sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan, dan dalam paham konvergensi, bahwa pendidikan ditentukan oleh pembawaan dari dalam diri manusia dan lingkungan, maka dalam Islam semua pandangan tersebut masih bersifat anthropocentris, yakni memusat pada manusia karena belum melibatkan peranan Tuhan. Dalam Islam pendidikan ditentukan oleh usaha manusia dan kehendak Tuhan, atau konvergensi plus, yakni konvergensi yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Oleh sebab itu, jika seorang guru berhasil melaksanakan pendidikan, hendaknya tidak sombong. Ia harus mengajak para muridnya terlebih dahulu berterimakasih kepada Tuhan, baru kemudian kepada guru, karena Tuahanlah yang menciptakan dan memberi kemampuan mendidik kepada guru tersebut.
Ketiga, berkaitan dengan sifat dan karakter pendidik dan peserta didik. Iman kepada Tuhan mengharuskan para pendidik dan peserta didik memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Sifat-sifat Tuhan atau nama-nama Tuhan yang baik (Asma al-Husna)  yang berjumlah 20 sifat atau 99 sifat hanya dihafal atau diketahui artinya, melainkan yang lebih penting lagi dihayati dan diamalkan kandungannya, karena dengan cara demikianlah akan melahirkan manusia yang selalu ingat pada Tuahn dan melahirkan akhlak yang mulia. Jika manusia meyakini bahwa Allah SWT. besrifat Maha Pengasih, Maha Kreatif, dan seterusnya. Maka sebaiknya manusia mengiasi dirinya dengan aifat-sifat tersebut, yakni menjadi manusia yang pengasih dan penyayang, meningkatkan dan mengembangkan ilmunya, kreatif dalam melahirkan gagasan dan karya-karya baru, bijakaana dan adil dalam membuat keputusan dan seterusnya.
Keempat, berkaitan dengan simber pendidikan. Iman kepada Allah SWT. mengajarkan bahwa alam jagat raya dengan segala isinya berupa bumi, langit, gunung, dan sebagainya adalah ciptaan-Nya. Semuanya itu harus dipergunakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendaknya, misalnya harus seimbang antara yang ditebang dan ditanam, atau yang digali dengan yang ditimbun, dan tidak digunakan untuk berabuat dosa kepada-Nya, melainkan untuk beribadah kepada-Nya. Alqm jagat raya yang demikian itulah yang selanjutnya digunakan sebagai sarana dan prasarana serta media dalam pendidikan.
Hubungan Filsafat tentang Alam dan Pendidikan
Hubungan filsafat tentang alam dengan pendidikan dapat dilihat melalui analisis sebagai berikut.
Pertama, secara umum menjadi dasar bagi penyusunan konsep pendidikan yang berbasis alam semesta, yakni pendidikan yang dalam semua aspeknya: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses mengajar, lingkungan, dan lainnya memerhatikan kondisi alam lingkungan di mana pendidikan tersebut diadakan.
Kedua, visi pendidikan yang berbasis pandangan tentang alam, adalah menjadikan pendidikan sebagai sarana yang unggul, terdepan dan strategis dalam memberikan kemampuan kepada masyarakat dalam memperdayakan segenap potensi alam secara cerdas, cermat, bijaksana, dan amanah sehingga dapat menimbulkan kesejahteraan masyarakat, tanpa merusak ekosistem atau tata lingkungan masyarakat.
Ketiga, dalam merancang evaluasi yang berbasis alam dilakukan dengan cara menilai kemajuan peserta didik bukan hanya bersifat teoretis dan verbalistik, melainkan dilengkapi dengan kemampuan menerapkan berbagai teori dan konsep yang dipelajarinya untuk mengelola alam lingkungan.
Hubungan Filsafat Ilmu dengan Pendidikan
Hubungan antara filsafat Ilmu dengan pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, ilmu erat hubungannya dengan isi dari struktur kurikulum, karena di dalam isi struktur kurikulum adalh berupa ilmu-ilmu seperti ilmu tentang membaca, menulis, berhitung, biologi, dan lain sebagainya. Ilmu tersebut disusun sedemikian rupa, berhubungan antara satudan lainnya, tingkat kedalamannya, dan berbagai aspeknya yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia, kecerdasan dan minat psesrta didik.
Kedua, bahwa ilmu yang didasarkan pandangan agama Islam sangat dibutuhkan guna membawa manusia untuk menjadi orang yang menyadari dan mensyukuri  anugrah Allah SWT., karena semua ilmu yang dihasilkan oleh manusia tersebut pada hakikatnya berasal dari Allah SWT., yakni sumber wahyu (ayat-ayat qauliyah), alam jagat raya (ayat-ayat kauniyah), perilaku sosial (ayat-ayat insaniyah), akal manusia, dan intuisi adalah bersal dari Allah SWT.; sedangkan manusia hanya menemukannya saja.Untuk maka seorang ilmuwan yang berhasil merumuskan teori tentang sesuatu, bukanlah sebagai pencipta ilmu, melainkan hanay sebagai penemu, yakni menemukan hukum-hukum yang sudah diciptakan Tuhan. Dengan pandangan yang demikian itu, maka ia tidak akan menggunakan berbagai macam ilmu tersebut untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
Pemikiran Pendidikan Arthur Schopenhaure
Schopenhaure berpendapat, bahwa kemungkinan seorang anak yang mempunyai potensi hereditasnya rendah, maka akan tetap rendah meskipun ia sudah dewasa atau telah di didik. Yang jahat akan tetap menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik. Pendidikan tidak akan dapat mengubah manusia, karena potensi itu bersifat kodrati. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi anak didik, adalah pendidikan yang tidak berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan Schopenhaure di atas sejalan dengan teori disiplin mental yang di dalamnya termasuk mental teistik, disiplin mental humanistic, naturalisme dan apersepsi.
Teori disiplin mental teistik berasal dari psikologi daya. Menurut teori ini, individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental seperti daya untuk mengamati, menanggapi, mengingat, dan sebagainya. Belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Kalau daya tersebut terlatih, maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan masalah. Selanjutnya, disoplin mental humanistic bersumber pada psikologi humanisme klasik dari Plato dan Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama, bahwa anak memiliki potensi yang perlu di latih agar berkembang. Perbedaannya adalah bahwa teori tersebut menekankan bagian-bagian, latihan-latihan atau aspek tertentu. Teori disiplin mental humanistic menenkankan keseluruhan dan keutuhan. Pendidikannya menekankan pendidikan umum (general education). Kalau seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum, akan mudah di transfer kepada hal-hal lain yang bersifat khusus.
Adapun teori naturalisme  atau natural unfildment atau self actualization adalah teori yang berpangkal dari psikologi  Naturalisme Romantik dengan tokoh utamanya Jean Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya, bahwa anak mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka beramsusmsi bahwa individu bukan saja mempuyai potensi atau kemampuan untuk berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya, pendidikan atau guru perlu menciptakan situasi yang permisif yang jelas. Melalui situasi yang demikian, ia dapat belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal.
Teori yang keempat yang termasuk rumpun disiplin mental, adalah apersepsi, yang terkadang disebut Herbartisme yang bersumber pada psikologi strukturalisme dengan tokoh utamanya Herbart. Menurut aliran ini, bahwa belajar adalah membentuk masa apersepsi. Anak memiliki kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disiplin dan membentuk suatu masa apersepsi, dan masa apersepsi ii digunakan untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula masa apersepsinya.
Pemikiran dan Gagasan Pendidikan Munawir Sajdzali
Terdapat sejumlah kebijakan dan gagasan dalam bidang pendidikan yang dilahirkan oleh Munawir Sajdzali dalam kedudukan sebagai Mentri Agama. Kebijakan dan gagasan tesrbut antara lain.
Pertama, pembenahan terhadap Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Pembehan pertama dilakukan daro segi dasar hokum dan kedua dari segi sumber daya manusianya. Dari segi hokum, Munawir menjalin kerjasama denga Depdikbud dan Kantor Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara. Rencana PP tentang IAIN akhirnya tersusun pada Mei 1985 dan akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985. Dengan PP ini status, perlakuan, dan fasilitas bagi 14 IAIN yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia dianggap sederajat dengan perguruan tinggi yang dikelola Depdikbud. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dijabarkan dalam Kepres No. 9 Tahun 19887 yang kemudian menjadi bagian dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kedua, melakukan pembehan terhadap Sumber Daya Mnausia (SDM) madrasah. Selama ini, madrasah masih dianggap sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agam dan pendidikan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Upaya ini antara lain dilakukan dengan menyempurnakan SKB 3 Menteri tahun 1975. Bentuk penyempurnaan itu adalah mengadakan pilot project Madrasah Aliyah Program Khusu (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahun agama dan 30% pengetahuan umum. Tamatan MAPK yang berada dilima lokasi: Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember ini dinilai oleh Munawir sebagai proyek yang ternyata cukup berhasil. Hal ini dapat di lihat ketika tahun1992, Munawir pergi ke Mesir, ia diberi tahu bahwa ada sekitar 47 atau 48 orang lulusan MANPK yang diterima di Al-Azhar, tanpa muadalah (ujian masuk). Munawir merasa gembira, karena banyak alumi MANPK yang berpikir untuk mengembangkan gagasan dan untuk menciptakan korp yang tangguh sebagai calon-calon ulama.

Ketiga, kebijakan tentang pembibitan calon dosen IAIN. Program ini dibuka dalam rangka memenuhi persyaratan yang diminta lembaga-lembaga pemberi beasiswa dari universitas Barat dan sekaligus menjaring tamatan IAIN yang berkualitas. Selain sangat terbatas, hanya diikuti oleh tidak lebih dari 30 peserta, program ini juga hanya menerima mereka yang indeks restasi kumulatifnya di atas tiga. Proyek pembibitan calon dosen yang unggul dan pengiriman tugas belajar ke berbagai universitas Barat ini, dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Munawir tentang hubungan antara Islam dan Negara. Munawir mengingikan agar para dosen IAIN mampu berkomunikasi dengan para teknorat dan birokrat yang rata-rata tamatan universitas Barat. Kelompo pertama mewakili kalangan agama, sedangkan yang kedua mempersentasikan unsur-unsur modernisitas. Dengan kemampuan komunikasi itu, maka tidak akan terjadi lagi kesenjangan antara Islam dan negara di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar