Pemikiran
Tentang Tuhan Dan Hubungannya Dengan Pendidikan
A. Dasar
Pemikiran
Terdapat
sejumlah pemikiran yang melatarbelakangi perlunya membahas tentang Tuhan dalam
hubungannya dengan pendidikan (khususnya pendidikan Islam) sebagai berikut.
Pertama,
bahwa dalam rumusan tujuan pendidikan, selalu disebutkan, bahwa tujuan
pendidikan yang utama adalah membentuk manusia agar beriman kepada Allah SWT.
Yang dilanjutkan dengan berbuat amal saleh, yakni amal yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Dan Rasul-Nya serta bermanfaat bagi kehidupan manusia,
seperti memberikan makan fakir miskin, membantu orang dari berbagai kesulitan
dan penderitaan, membantu biaya pendidikan dan kesehatan bagi orang yang kurang
mampu dan sebagainya. Dengan adanya rumusan yang demikian itu, maka dalam
membahas pendidikan ini terlebih dahulu perlu membahas tentang Tuhan.
Kedua, bahwa
sehubungan dengan tujuan pendidikan yang demikian itu, di dalam kurikulum
pendidikan juga terdapat materi kajian tentang iman kepada Tuhan dengan segala
sifat-Nya sebagaimana terdapat dalam mata pelajaran Tauhid, Ilmu Ushuluddin,
Ilmu Kalam, dan sebagainya. Dengan demikian, kajian tentang Tuhan menjadi
penting ntuk dilakukan. Di negara-negara yang bercorak sekuler, seperti Amerika
dan Jepang tidak terdapat pelajaran agama, karena masalah agama adalah urusan
pribadi yang diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Sedangkan di negara-negara
yang berasaskan Islam atau Pancasila seperti Indonesia, pelajaran tentang agama
dan ketuhanan termasuk urusan pemerintahan.
Ketiga, bahwa
dalam ideologi pendidikan Barat terdapat berbagai aliran. Di antaranya ada
aliran konservatif, aliran odern, dan aliran liberal. Sedangkan dalam ideologi
pendidikan Islam memiliki perbedaan dengan ideologi pendidikan Barat tersebut.
Dalam ideologi pedidikan Islam terdapat perpaduan antara usaha manusia dan
kehendak Tuhan atau yang dikenal dengan humanisme teocentris. Sedangkan dalam
teori pendidikan Barat sepenuhnya bercorak anthropocentris, humanistic,
sekularistik, dan positivistic, yakni aliran atau ideologi yang semata-mata
mengandalkan kemampuan manusia. Dalam upaya memberikan gambaran tentang
ideologi yang bercorak humanisme teocentris tersebut berkaitan erat dengan
masalah ketuhan.
B. Kepercayaan
kepada Tuhan
Pembicaraan
tentang Tuhan dengan berbagai aspek-Nya bukan saja menjadi topic utamadalam
kajian filsafat Islam, melainkan juga menjadi kajian utama dalam Ilmu Kalam,
Tasawuf, dan bidang studi Islam lainnya. Hal ini antara lain disebabkan, karena
seluruh sumber utama dalam studi Islam adalah Kitab Suci Al-Quán yang merupakan
firman Tuhan, dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan kehendak-Nya.
Berbagai pandangan tentang Tuhan yang dikaji dalam berbagai ilmu tersebut dapat
dikemukakan berikut.
1. Kajian
tentang Tuhan dalam Ilmu Kalam
Di dalam kalangan para
ahli ilmu kalam, kajian terhadap Tuhan, terutama dari segi sifat dan
perbuatan-nya di lakukan sangat mendalam. Berbagai dalil, baik yang bersumber
pada Al-Qurán, al-Sunnah, fenomena alam, sejarah, filsafat dan lainnya telah
digunakan. Demikian pula berbagai aliran dan mazhab yang disebabkan karena
perbedaan dalam memahami tentang relasi manusia dan alam dengan Tuhan, telah
melahirkan aliran yang sepenuhnya tanduk pada Tuhan (Jabariyah), aliran yang memiliki kebebasan untuk menentukan
berbagai pilihan antara mengikuti atau tidak mengikuti Tuhan (Qadariyah), dan aliran yang memadukan
antara mengikuti kehendak Tuhan dan kehendak manusia juga telah berkembang
sedemikian rupa. Namun demikian, perdebatan tentang Tuhan yang dilakukan
berbagai aliran tersebut tidak membawa mereka keluar dari Islam, sebab yang
mereka perdebatkan itu bukanlah hal yang pokok, melainkan hal-hal yang bersifat
cabang (furuíyah), seperti apakah
sifat Tuhan itu melekat pada zat-Nya atau terpisah; apakah Al-Qurán itu
diciptakan (baharu / al-Hadits) atau tidak diciptakan (al-qadim), apakah
manusia memiliki kehendak yang penuh (jabariyah), apakah orangg mukmin yang
berdosa dan meninggal sebelum sempat bertaubat akan kekal dalam neraka, atau
hanya sementara saja, dan sebagainya. Semua perdebatan tersebut tidak membawa
mereka keluar dari Islam, karena yng mereka perdebatkan bukan hal yang pokok. Mereka
semuanya percaya pada rukun iman yang enam. Selama mereka masih percaya pada
rukun iman yang demikian itu, maka masih dianggap sebagai orang yang beriman.
Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT.
Artinya: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang
Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu.
Beberapa
ayat trsebut di atas, selain menyatakan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tempat memohon, juga memerintahkan agar manusia mengenal-Nya dengan
cara mempelajari ilmu yang berkaitan dengannya, yang dalam hal ini adalah Ilmu
Kalam. Melalui Ilmu Kalam ini akan dapat disingkirkan berbagai kepercayaan yang
menyimpang yang akan merugikan manusia. Di dalam Al-Qu’an misalnya dikemukakan
tentang beberapa aliran yang dinilai tercela sebagai berikut.
Pertama, golongan
yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan, bahwa yang
menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja
Kedua,
golongan musyrik yang menyembah binatang-binatang, bukan, matahari, yang
mempertuhankan Nabi Isa dan Ibunya, dan yang menyebah berhala-berhala.
Ketiga, golongan
yang tidak percaya terhadap kerasulan para Nabi, dan tidak percaya kepada kehidupan
kembali di akhirat nanti.
Keempat, golongan
yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalahbperbuatan Tuhan
sepenuhnya, tanpa ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang Munafiq).
Menghadapu
berbagai pandangan dan pemikiran dari berbagai golongan tersebut, Tuhan
memberikan bantahan dengan alasan yang meyakinkan, dan memerintahkan kepada
Nabi Muhammad saw. agar menjalankan dakwahnya dengan mengemukakan berbagai
argumen dengan cara yang bijak dan santun.
2.
Kajian Tentang Tuhan dalam Ilmu Tasawuf
Di
kalangan para ahli tasawuf kajian tentang Tuhan tampak lebih mendalam lagi.
Dalam Ilmu Tasawuf yang dipentingkan bukan hanya sekedar mengetahui sifat dan
perbuatan Tuhan tetapi yang lebih dipentingkan lagi adalah dapat mengetahui,
memahami, mengenal, mendekati, menyintai dan mencintai Tuhan, bahkan dapat
berkomunikasi dan bersatu secara batiniah dengan Tuhan. Melalui proses seperti
itu, manusia akan mendapatkan pancaran enegri dari Tuhan yang selanjutnya
memberi pengaruh terhadap perasaan, ucapan, dan perbuatannya. Keadaan ini pada
gilirannya, menyebabkan ia selalu ingat pada Tuhan, menampak perilaku dan
akhlak yang mulia sebagaimana yang dimiliki Tuhan. Dengan keadaan yang demikian
itu, maka ia akan terhibdar dari berbagai perbuatan yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan.
Beberapa
dalil Al-Qur’an dan hadis yang menjadi sumber lahirnya ilmu tasawuf sebagaimana
tersebut di atas, antara lain:
Dikalangan
para ahli tasawuf, bahwa mengenal dekat, dan cinta kepada Tuhan tidak hanya
dilakukan dengan menunjukkan amal ibadah dan perbuatan yang baik, melainkan
disertai dengan sejumlah amalan yang khusus di luarvketentuan ibadah yang
umumnya dikerjakan manusia, seperti zikir
(menyebut nama Allah) dalam jumlah sekian kali, membaca tasbih (subahanallah), membaca tahmid (alhamdulillah), membaca tahlil (laailaaha illa Allah), membaca hawalah (laa haula wa laa kuwwatailla
billah), membaca takbir (Alahu Akbar),
membaca istighfar (astaghfirullah
al-adzim) dalam jumlah tertentu. Dari sekian bacaan tersebut terlihat dengan
jelas, bahwa yang menjadi arah dan tujuannya adalah mengenal, mendekat, dan
mencintai Allah SWT. dengan segenap jiwa dan raga, serta menyerahkan hidup
sepenuhnya kepada kehendak-Nya.
3.
Kajian Tentang Tuhan dalam Filsafat Islam
Kajian
tentang Tuhan dalam filsafat Islam, antara lain dapat dilihat dari pemikiran
filsafat yang dikemukakan para filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan
Ibn Sina.
Tuhan
bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagaib pendapat
Aristoteles. Ia lebih dekat dengan faham Plotinus yang mengatakan, bahwa Yang
Maha Satu adalah sumber dari alam ini
dan sumber dari yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.
Selanjutnya
al-Farabi berpendapat, bahwa Tuhan bersifqt Maha Satu, tidak berubah, jauh dari
materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apau pun.
Alam jagat raya terjadi dengan cara emanasi (pancaran) yang cara kerjanya
sebagai berikut.
Tuhan
sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu
maujud lain. Tuhan merupakan wujud-I (al-wujud
al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud-wujud lainnya hingga
mencapai wujud kesebelasan akal kesepuluh, dan sembilan planet. Dari setiap
wujud dan akal tersebut terjadi proses berpikir (al-ta’aqqul) yang selanjutnya dari wujud kesebelasan muncul bumi,
roh, dan material asal berupa air, udara, api, dan tanah. Dan dari material
asal inilah kemudian timbul alam lain berupa alam jamadat, nabatat, (tumbuhan), hayawanat
(binatang) dan al-insaniyat (manusis)
yang masing-masing memiliki jiwa.
Dengan
cara emanasi inilah, para filsuf ingin menjelaskan tentang proses penciptaan
alam jagat raya dengan segala isinya tanpa mengganggu keesaan dan kesucian
Tuhan. Dan dengan cara itu pula, para filsuf akan terhindar dari perbuatan
musyrik, yakni menyebkutukan Tuhan.
C. Hubungan
Keimanan kepada Tuhan dengan Pendidikan
Pehaman
terhadap keesan Tuhan dengan segala sifat-sifat sebagaimana tersebut di atas,
memiliki hubungan yang erat dalam rangka mengembangkan pemikiran pendidikan.
Hubungan tersebut dapat dikemukakan dengan analisis sebagai berikut.
Pertama, berkaitan
dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan. Iman kepada Tuhan akan memengarahui
visi pendidikan, yaitu menjadikan pendidikan sebagai sarana yang unggul dan
kredibel dalam membentuk manusia yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah Tuhan di muka bumi. Sedangkan misinya antara lain membentuk manusia
agar beribadah kepada Allah SWT.; manusia yang ampu mengelola alam jagat raya
untuk kemaslahatan manusia; manusia yang mengerjakan perbuatan yang
diperintahkan Allah SWT. dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan tujuannya adalah
mebentuk manusia yang beriman, bertakwa, berbudi pekerti yang luhur, menjadi
hamba Alah SWT., menjadi orang yang seimbangdalam hubungannya denganTuhan
dandengan sesame manusia, manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, dan manusia
yang berbudi pekerti mulia dan manusia yang rela berjuang di jalan Allah SWT.
Kedua,
berkaitan dengan ideologi pendidikan, yaitu cita-cita dan tujuan tertinggi
dalam pendidikan Islam yang selanjutnya menjiwai seluruh komponen pendidikan.
Iman kepada Tuhan akan menjadi landasan ideologi pendidikan yang humanisme
teocentris, yakni pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan pada nilai-nilai
yang berasal dari akal pikiran manusia, melainkan juga nilai-nilai yang
didasarkan pada kehendak Allah SWT. Pada paham nativisme sebagaimana dikemukakan Arthur Schopenhauer, bahwa
pendidikansepenuhnya ditentukan oleh pembawaan dari dalam diri manusia, dan
pada paham empirisme, sebagaimana dikemukakan Jihn Locke bahwa pendidikan
sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan, dan dalam paham konvergensi, bahwa
pendidikan ditentukan oleh pembawaan dari dalam diri manusia dan lingkungan,
maka dalam Islam semua pandangan tersebut masih bersifat anthropocentris, yakni
memusat pada manusia karena belum melibatkan peranan Tuhan. Dalam Islam
pendidikan ditentukan oleh usaha manusia dan kehendak Tuhan, atau konvergensi
plus, yakni konvergensi yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Oleh sebab itu,
jika seorang guru berhasil melaksanakan pendidikan, hendaknya tidak sombong. Ia
harus mengajak para muridnya terlebih dahulu berterimakasih kepada Tuhan, baru
kemudian kepada guru, karena Tuahanlah yang menciptakan dan memberi kemampuan
mendidik kepada guru tersebut.
Ketiga, berkaitan
dengan sifat dan karakter pendidik dan peserta didik. Iman kepada Tuhan
mengharuskan para pendidik dan peserta didik memiliki sifat-sifat sebagaimana
sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Sifat-sifat Tuhan atau nama-nama Tuhan yang
baik (Asma al-Husna) yang berjumlah 20 sifat atau 99 sifat
hanya dihafal atau diketahui artinya, melainkan yang lebih penting lagi
dihayati dan diamalkan kandungannya, karena dengan cara demikianlah akan
melahirkan manusia yang selalu ingat pada Tuahn dan melahirkan akhlak yang
mulia. Jika manusia meyakini bahwa Allah SWT. besrifat Maha Pengasih, Maha
Kreatif, dan seterusnya. Maka sebaiknya manusia mengiasi dirinya dengan
aifat-sifat tersebut, yakni menjadi manusia yang pengasih dan penyayang,
meningkatkan dan mengembangkan ilmunya, kreatif dalam melahirkan gagasan dan
karya-karya baru, bijakaana dan adil dalam membuat keputusan dan seterusnya.
Keempat, berkaitan
dengan simber pendidikan. Iman kepada Allah SWT. mengajarkan bahwa alam jagat
raya dengan segala isinya berupa bumi, langit, gunung, dan sebagainya adalah
ciptaan-Nya. Semuanya itu harus dipergunakan secara bertanggung jawab sesuai
dengan kehendaknya, misalnya harus seimbang antara yang ditebang dan ditanam,
atau yang digali dengan yang ditimbun, dan tidak digunakan untuk berabuat dosa
kepada-Nya, melainkan untuk beribadah kepada-Nya. Alqm jagat raya yang demikian
itulah yang selanjutnya digunakan sebagai sarana dan prasarana serta media
dalam pendidikan.
Hubungan
Filsafat tentang Alam dan Pendidikan
Hubungan
filsafat tentang alam dengan pendidikan dapat dilihat melalui analisis sebagai
berikut.
Pertama, secara
umum menjadi dasar bagi penyusunan konsep pendidikan yang berbasis alam
semesta, yakni pendidikan yang dalam semua aspeknya: visi, misi, tujuan,
kurikulum, proses mengajar, lingkungan, dan lainnya memerhatikan kondisi alam
lingkungan di mana pendidikan tersebut diadakan.
Kedua, visi
pendidikan yang berbasis pandangan tentang alam, adalah menjadikan pendidikan
sebagai sarana yang unggul, terdepan dan strategis dalam memberikan kemampuan
kepada masyarakat dalam memperdayakan segenap potensi alam secara cerdas,
cermat, bijaksana, dan amanah sehingga dapat menimbulkan kesejahteraan
masyarakat, tanpa merusak ekosistem atau tata lingkungan masyarakat.
Ketiga, dalam
merancang evaluasi yang berbasis alam dilakukan dengan cara menilai kemajuan
peserta didik bukan hanya bersifat teoretis dan verbalistik, melainkan
dilengkapi dengan kemampuan menerapkan berbagai teori dan konsep yang
dipelajarinya untuk mengelola alam lingkungan.
Hubungan
Filsafat Ilmu dengan Pendidikan
Hubungan
antara filsafat Ilmu dengan pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, ilmu
erat hubungannya dengan isi dari struktur kurikulum, karena di dalam isi
struktur kurikulum adalh berupa ilmu-ilmu seperti ilmu tentang membaca,
menulis, berhitung, biologi, dan lain sebagainya. Ilmu tersebut disusun
sedemikian rupa, berhubungan antara satudan lainnya, tingkat kedalamannya, dan
berbagai aspeknya yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia, kecerdasan
dan minat psesrta didik.
Kedua, bahwa
ilmu yang didasarkan pandangan agama Islam sangat dibutuhkan guna membawa
manusia untuk menjadi orang yang menyadari dan mensyukuri anugrah Allah SWT., karena semua ilmu yang
dihasilkan oleh manusia tersebut pada hakikatnya berasal dari Allah SWT., yakni
sumber wahyu (ayat-ayat qauliyah), alam
jagat raya (ayat-ayat kauniyah), perilaku
sosial (ayat-ayat insaniyah), akal
manusia, dan intuisi adalah bersal dari Allah SWT.; sedangkan manusia hanya
menemukannya saja.Untuk maka seorang ilmuwan yang berhasil merumuskan teori
tentang sesuatu, bukanlah sebagai pencipta ilmu, melainkan hanay sebagai
penemu, yakni menemukan hukum-hukum yang sudah diciptakan Tuhan. Dengan
pandangan yang demikian itu, maka ia tidak akan menggunakan berbagai macam ilmu
tersebut untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
Pemikiran
Pendidikan Arthur Schopenhaure
Schopenhaure
berpendapat, bahwa kemungkinan seorang anak yang mempunyai potensi hereditasnya
rendah, maka akan tetap rendah meskipun ia sudah dewasa atau telah di didik.
Yang jahat akan tetap menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik.
Pendidikan tidak akan dapat mengubah manusia, karena potensi itu bersifat
kodrati. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi anak didik,
adalah pendidikan yang tidak berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan
Schopenhaure di atas sejalan dengan teori disiplin mental yang di dalamnya
termasuk mental teistik, disiplin mental
humanistic, naturalisme dan apersepsi.
Teori
disiplin mental teistik berasal dari
psikologi daya. Menurut teori ini, individu atau anak mempunyai sejumlah daya
mental seperti daya untuk mengamati, menanggapi, mengingat, dan sebagainya.
Belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Kalau daya tersebut
terlatih, maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan
masalah. Selanjutnya, disoplin mental
humanistic bersumber pada psikologi humanisme klasik dari Plato dan
Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama, bahwa anak memiliki
potensi yang perlu di latih agar berkembang. Perbedaannya adalah bahwa teori
tersebut menekankan bagian-bagian, latihan-latihan atau aspek tertentu. Teori
disiplin mental humanistic menenkankan keseluruhan dan keutuhan. Pendidikannya
menekankan pendidikan umum (general
education). Kalau seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum, akan
mudah di transfer kepada hal-hal lain yang bersifat khusus.
Adapun
teori naturalisme atau natural
unfildment atau self actualization adalah
teori yang berpangkal dari psikologi
Naturalisme Romantik dengan tokoh utamanya Jean Jacques Rousseau. Sama
dengan kedua teori sebelumnya, bahwa anak mempunyai sejumlah potensi atau
kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka beramsusmsi bahwa individu
bukan saja mempuyai potensi atau kemampuan untuk berbuat atau melakukan
berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dan
berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang dan mengaktualisasikan segala
potensi yang dimilikinya, pendidikan atau guru perlu menciptakan situasi yang
permisif yang jelas. Melalui situasi yang demikian, ia dapat belajar sendiri
dan mencapai perkembangan secara optimal.
Teori
yang keempat yang termasuk rumpun disiplin mental, adalah apersepsi, yang terkadang disebut Herbartisme yang bersumber pada
psikologi strukturalisme dengan tokoh utamanya Herbart. Menurut aliran ini,
bahwa belajar adalah membentuk masa apersepsi. Anak memiliki kemampuan untuk
mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disiplin dan membentuk
suatu masa apersepsi, dan masa apersepsi ii digunakan untuk mempelajari atau
menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian seterusnya semakin tinggi
perkembangan anak, semakin tinggi pula masa apersepsinya.
Pemikiran
dan Gagasan Pendidikan Munawir Sajdzali
Terdapat
sejumlah kebijakan dan gagasan dalam bidang pendidikan yang dilahirkan oleh
Munawir Sajdzali dalam kedudukan sebagai Mentri Agama. Kebijakan dan gagasan
tesrbut antara lain.
Pertama, pembenahan
terhadap Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Pembehan pertama dilakukan daro
segi dasar hokum dan kedua dari segi sumber daya manusianya. Dari segi hokum,
Munawir menjalin kerjasama denga Depdikbud dan Kantor Mentri Pendayagunaan
Aparatur Negara. Rencana PP tentang IAIN akhirnya tersusun pada Mei 1985 dan
akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985. Dengan PP ini status,
perlakuan, dan fasilitas bagi 14 IAIN yang tersebar diberbagai wilayah
Indonesia dianggap sederajat dengan perguruan tinggi yang dikelola Depdikbud.
Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dijabarkan dalam Kepres No. 9 Tahun
19887 yang kemudian menjadi bagian dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kedua, melakukan
pembehan terhadap Sumber Daya Mnausia (SDM) madrasah. Selama ini, madrasah
masih dianggap sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di
pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agam dan
pendidikan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul
bagi IAIN. Upaya ini antara lain dilakukan dengan menyempurnakan SKB 3 Menteri
tahun 1975. Bentuk penyempurnaan itu adalah mengadakan pilot project Madrasah
Aliyah Program Khusu (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahun agama dan
30% pengetahuan umum. Tamatan MAPK yang berada dilima lokasi: Padang Panjang,
Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember ini dinilai oleh Munawir sebagai
proyek yang ternyata cukup berhasil. Hal ini dapat di lihat ketika tahun1992,
Munawir pergi ke Mesir, ia diberi tahu bahwa ada sekitar 47 atau 48 orang
lulusan MANPK yang diterima di Al-Azhar, tanpa muadalah (ujian masuk). Munawir merasa gembira, karena banyak alumi
MANPK yang berpikir untuk mengembangkan gagasan dan untuk menciptakan korp yang
tangguh sebagai calon-calon ulama.
Ketiga, kebijakan
tentang pembibitan calon dosen IAIN. Program ini dibuka dalam rangka memenuhi
persyaratan yang diminta lembaga-lembaga pemberi beasiswa dari universitas Barat dan sekaligus menjaring tamatan
IAIN yang berkualitas. Selain sangat terbatas, hanya diikuti oleh tidak lebih
dari 30 peserta, program ini juga hanya menerima mereka yang indeks restasi
kumulatifnya di atas tiga. Proyek pembibitan calon dosen yang unggul dan
pengiriman tugas belajar ke berbagai universitas Barat ini, dapat dipandang
sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Munawir tentang hubungan antara Islam
dan Negara. Munawir mengingikan agar para dosen IAIN mampu berkomunikasi dengan
para teknorat dan birokrat yang rata-rata tamatan universitas Barat. Kelompo
pertama mewakili kalangan agama, sedangkan yang kedua mempersentasikan
unsur-unsur modernisitas. Dengan kemampuan komunikasi itu, maka tidak akan
terjadi lagi kesenjangan antara Islam dan negara di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar