Rabu, 30 November 2016

Sosiologi Pendidikan Dan Aspek Politik


 “ Pendidikan dan Aspek politik
Dosen Pembimbing:
Tellys Carolina
Disusun Oleh :

Ahmad Fachrudin (1507015005)

Reza Pratama (1507015062)

Robbiatunnada ( 1507015040 )

Samsuri ( 1507015066 )


SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2016
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memahami tentang arti dari “Pendidikan dan aspek politik”. Dalam penyusunan  makalah  ini tentunya banyak rintangan yang dialami. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun, dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “Pendidikan dan aspek politik” yang sengaja dibuat demi menyelesaikan tugas mata kuliah manajemen pendidikan islam.  Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.





Jakarta, 30 mei 2016
                                                                                                                                   
                                                                                                                                    PENYUSUN                                                                                                             





DAFTAR ISI
        G. Pendidikan dan Kepentingan Politik Sekolah Sebagai Politik…………………………………………………21







BAB I

PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang
Pendidikan dalam masyarakat modern dewasa ini, seperti di Indonesia telah menjadi wacana publik. Mulai berkembangnya pengkajian tentang kebijakan pendidikan ke ranah publik dapat kita cermati mengenai pelaksanaan amandemen-amandemen keempat Undang Undang Dasar yang mengatakan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan nasional
Terlepas dari itu semua, pada zaman modern ini setidaknya telah membuka wawasan bagi seluruh masyarakat Indonesia, baik masyarakat modern atau masyarakat tradisional terkait pentingnya pendidikan berikut upaya-upaya/cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu kunci untuk membuka wawasan masyarakat. Selain dari pendidikan, politik yang ada dalam masyarakat besar maupun kecil perlu kiranya dibedah selebar-lebarnya agar masyarakat paham akan pentingnya pendidikan yang ada di Indonesia dan memanfaatkan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat harus paham betul pentingnya politik pendidikan karena muara politik pendidikan menuju kepada kebijakan pendidikan, bukan semata-mata politisasi pendidikan. Hal ini perlu dipertegas karena bagi masyarakat kecil atau tradisional beranggapan bahwa politik adalah kotordan lain sebagainya. Sehingga masih menjadi perdebatan apakah dalam dunia pendidikan ada yang menggunakan politik atau tidak
2.    Rumusan masalah :
1.      Apa itu Pengertian Pendidikan ?
2.      Bagaimana Hubungan Politik dan Pendidikan ?
3.      Apa saja unsur-unsur Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
4.      Bagaimana  Fungsi Politik Institusi Pendidikan?
5.      Bagaimana Pengaruh Pendidikan terhadap Politik ?
6.      Bagaimana Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan?




Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan dan untuk memberikan pengetahuan kepada para pembaca




















BAB II

PEMBAHASAN


Pengertian Pendidikan
            Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
            Kemudian kita berlanjut pada UU tentang adanya pendidikan tersebut, Menurut UU No. 20 tahun 2003 pengertian Pendidikan adalah sebuah usaha yang di lakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, membangun kepribadian, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Undang – undang inilah yang menjadi dasar berdidirinya proses pendidikan yang ada di Negara Indonesia.
            Pengertian pendidikan menurut para Ahli, sebelum kita mengambil pendapat para filosofi pendidikan dari orang barat, maka kita mengambil pengertian pendidikan berdasarkan apa yang di sampaikan oleh bapak pendidikan Nasional Indonesia Ki Hajar Dewantara, beliau telah menjelaskan tentang pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Ki Hajar Dewantara.

Pengertian pendidikan atau definisinya menurut pendapat para Ahli lain yaitu :
1.                  Prof.Dr.M.JLangeveld :
Pendidikan ialah pemberian bimbingan dan bantuan rohani bagi yang masih memerlukannya”.

2.                  Prof. Zaharai Idris
            seorang Ahli Epistimologi juga menyampaikan pendapatnya tentang pengertian pendidikan ialah :
Pendidikan ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya” .
3.                  H. Horne :
Pendidikan adalah proses yang di lakukan terus menerus dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia” .
4.                  Ahmad D. Marimba :
            Beliau juga berpendapat bahwa Pendidikan adalah ” bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama“.
Terakhir Pengertian Pendidikan Menurut John Dewey :
            “ Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia” .
      Pengertian Politik
                Pengertian Politik atau definisi dan makna politik secara umum yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat.
Pandangan dari para ahli terkait dengan politik.
1)      Aristoteles
    Usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

2)      Joice Mitchel
    Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
3)       Roger F. Soltau
    Bermacam-macam kegiatan yang menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurutnya politik membuat konsep-konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
4)      Johan Kaspar Bluntchli
    Ilmu politik memerhatikan masalah kenagaraan yang mencakup paham, situasi, dan kondisi negara yang bersifat penting.
5)      Hans Kelsen
    Dia mengatakan bahwa politik mempunyai dua arit, yaitu sebagai berikut.
a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Hubungan politik dan Pendidikan.
            Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian – bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa – apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi lembaga – lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
      Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di Negara – Negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalambukunya Republic yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
      Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembanga – lembaga politik. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya sakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
      Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965 : 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terikat tanpa bias dipisahkan). Hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (employment), dan peranan politik kaum cendikia (the political role of the intelligentsia).
      Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai – nilai dan lembaga barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional ke pola modern. Dibanyak Negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat kuat.   Jika politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan – keputusan otoritatif tentnag alokasi sumber daya dan nilai – nilai sosial (Harman, 1974 : 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
      Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.     
1.      Kontrol Negara terhadap Pendidikan
      Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program – program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian  rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu system pendidikan yang memiliki kharakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program – program pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh Negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
      Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
      Menurut Dale (1989: 39 - 43), control Negara terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system pendidkan diatur secara legal. Kedua, system pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks tertentu. Dale (1989 : 59) menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang pendidikan, sepeti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses, dan praktik pendidikan.   
2.      Sketsa Politik Pendidikan di Indonesia
      Setiap periode perkembangan pendidikan nasional adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena perkembangan tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi, karakteristik, dan kesadara politik yang banyak mempengaruhi masa depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan – kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Ada empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
1.      Peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan
2.      Peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan
3.      Peningkatan kualitas pendidikan
4.      Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan.  

Sketsa penyelenggaraan pendidikan di Negara ini dapat dibagi atas enam periode perkembangan, yaitu :
 1. Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800an. Pada masa ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air mengarah pada sosialisasi nilai – nilai agama dan pembangunan keterampilan hidup. Penyelenggaraan pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh tokoh – tokoh agama.   
2.   Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1800an hingga tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan ditanah air diwarnai oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan pemerintahan colonial dan aktivitas pendidikan kaum pribumi. Disatu pihak, pemerintah colonial berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme dan mencetak para pekerja yang dapat diekploitasi untuk mendukung misi sosial, politik, dan ekonomi pemerintah kolonial.
3.   Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai – nilai dan semangat nasionalisme serta mengobarkan semangat kemerdekaan ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek perkembangan dunia pendidikan pada masa periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal. 
4.   Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai – nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh tokoh – tokoh nasionalis.
5.   Periode kelima adalah periode Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena focus utama pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi.
6.   Periode keenam adalah periode Reformasi yang dimulai pada tahun 1998. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi sehingga penataan system pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan menelusuri prinsip – prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan terkait.
                 
                  Politik terhadap pendidikan Islam di Indonesia
Study kasus ini sangat nyata ketika pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, intervensi pemerintah melaui penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran P4), adalah bukti nyata bahwa pendidikan adalah salah satu sarana kepentingan politik penguasa.
Mochtar Buchori, menyatakan dalam pandanganya bahwa generasi politik yang mengatur kehidupan bangsa selama periode orde baru tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai menurun. Ekspansi system pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu itu, tanpa diketehui dan dikehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-sekolah. Kemerosotan ini terjadi, karena elit pendidikan yang sangat kecil yang dimiliki saat itu, harus direntang panjang-panjang untuk memungkinkan ekspansi system yang cepat tersebut.
Pada masa Orde Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melakukan intervensi kepada semua aspek kehidupan bernegara. Eksistensi penguasa concern utama bagi pemerintah, sehingga intervensi yang dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan bernegara sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat sikap apatis dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk berfikir secara demokratris, kristis, dan kreatif.
Sistem pemerintahan Orde Baru ini, menghalangi munculnya gerakan oposisi sebagai social control terhadap pemerintahan atau penguasa. Oposisi dalam suatu Negara yang demokratis menjadi suatu keharusan poltik yang harus di tempatkan pada posisi yang penting. Di Indonesia ini di gerakan oposisi di pandang oleh penguasa sebagai pendobrak terhadap eksistensi pengauasa, sehingga munculnya oposisi selalu tidak sepi oleh kecurigaan pengausa, di dukung oleh otoritarian.
Berbeda dengan pernyataan sebelumnya kasus yang sama terjadi dimana masih terdapatnya pemimpin kita baik dalam skala nasional maupun daerah menjadikan pendidikan (apalagi pendidikan Islam) sebagai komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan kadang-ladang menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya, entah dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang Pilkada.
Sering dilupakan oleh kalangan pendidik bahwa salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah aspek politik. Dalam aspek ini di jelaskan hubungan antara masyarakat dengan pemerintahan, hubungan antar Negara, hubungan antarorganisasi, dan sebagainya. Atas dasar ini, antara pendidikan islam dengan politik punya hubungan erat yang sulit untuk dipisahkan.
Dalam sejarah, hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap persoalan politik. Kenyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan “As is the state, so is the school ”, atau “What you want is the state, tou must put into the school “. Selain terdapat teori yang dominant dalam demokrasi yang mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi bagi suatu tatanan demokratis.
Pendidikan dengan politik dapat dilacak sejak masa- masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga- lembaga pendidikan Islam. Sepanjang sejarah terdapat hubungan yang amat erat antara politik dengan pendidikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari pendirian beberapa lembaga pendidikan Islam di Timur Tengah yang justru disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenal adalah madrasah Nizhamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizham al- Mulk. Madrasah ini terkenal dengan munculnya para pemikir besar. Misalnya, Al- Ghozali sempat mentransfer pengetahuanya di lembaga ini, yakni menjadi guru.
Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara system pendidikan tradisional dengan munculnya lembaga pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa peran ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas terkemuka baik di dalammupun di luar negeri.

Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.
Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut adalah munculnya para tokoh formal dan informal yng memiliki pemikiran dan pergerakan politik yang berbeda, ada yang berfikir lebih modernis, fundamentalis, tradisionalis dan nasionalis. Meski prilaku politik seorang tokoh semata- mata tidak hany di tentukan oleh institusi pendidikan tertentu dan masih ada factor lain (lingkungan, sosiokultural, potensi berfikir, dan sebagainya), pengaruh suatu institusi pendidikan cukup berarti dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang untuk mempunyai paradigma berfikiryang berbeda.
Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai korelasi signifikan antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI yang sejak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang terbentuk sebagai sikap peduli para tokoh muslim setelah melihat gejala besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.
Namun dalam perjalanan berikutnya, strategi untuk meningkatkan perkembangan dan kualitas pendidikan Islam, para tokoh- tokoh aktivis GUPPI lebih memilih untuk bergabung dan berafiliai pada partai politik tertentu, dengan harapan bahwa melalui jalur ini kepentingan GUPPI untuk mengembangakan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terpenuhi. Sayangnya, peran politik yang dimainkan oleh para aktivis GUPPI di partai Golkar kurang maksimal, akhirnya cita- cita dan impian yang di capai untuk menyalurkan kepentingan umat Islam dalam meningkatkan pendidikan Islam kurang memenuhi harapan.
Terlepas dari seluruh kegagalan tersebut, penulis hendak mengatakan bahwa keterlibatan dalam berpolitik dapat menjadikan mediasi untuk mnyalurkan kepentingannya secara individual maupun organisasi.

Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba jelas hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan manusia penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya adalah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka jelas bukan manusia yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.
Reformasi yang telah bergulir, semestinya dapat merintis jalan bagi pemulihan kembali demokratisasi yang selama beberapa dasawarsa mengalami diskontinuitas. Termasuk dalam hal ini adalah upaya mengembalika fungsi dan peran pendidikan sebagiamana dicita- citakan oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang difomulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembenahan secara fundamental terhadap system Pendidikan Nasional merupakan conditiosine quainin yang harus dimulai dari tataran yang paling dasar visi sampai dengan implementasi dalam kurikulum. Pada tataran paling dasar, tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian manusia Indonesia yang tercerahkan dan memiliki tanggung jawab, merupakan substansinya. Dengan landasan visi seperti ini, maka pendidikan tidak lagi hanya ditujukan untuk memproduksi manusia terpelajar dan berkeahlian demi malayani keperluan pasar tenaga kerja manusia yang di kuasai oleh kehendak untuk mengontrol, mengekploitasi, dan berkuasa, tetapi yang di pentingkan adalah pertumbuhannya manusia berbudaya yang dapat menghayati dan memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas mengada (the community of being) yang saling terkait satu sama lain dan karena saling menjaga dan membuahkan mengeksploitasi.
Untuk mewujudkan visi semacam itu di perlukan proses pendidikan yang menggunakan pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses searah one way communication. sebagaimana yang kita temukan diruang-ruang kelas mulai dari TK hingga keuniversitas, proses belajar mengajar bukan lagi proses pencekokan murid/mahasiswa dengan berbagai materi yang terkesan sangat normatif bahkan sacral, tapi marupakan proses dialektika antara para pelakunya, dengan mempersalahkan fenomena-fenomena yang hangat dalam masyarakat.
Akhirnya denga perombakan system pendidikan nasional itulah kita berharap bahwa, pendidikan akan menjadi factor utama dalam proses menjadi bangsa yang modern beradab serta tercerahkan.
Pengaruh Politik Terhadap Pendidikan
   Pendidikan dan politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lainnya tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal saling bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara, lebih dari itu juga saling menunjang dan saling mengisi.
            Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
            Diantara lembaga pendidikan Islam yang menjadi carong pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6) adalah Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Dia menyimpulkan dari analisisnya terhadap kasus madrasah tersebut sebagai berikut: “kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan.           Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat menjalankan syariat. Bila politik berfungsi mengayomi di atas maka pendidikan harus melakukan pembenahan lewat arus bawah”.
Kutipan diatas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
            Menurut Albernetty dan Combe, hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek yaitu:
1.         Pembentukan sikap kelompok (group attitude)
2.         Masalah pengangguran (unemployment)
3.         Peranan politik kaum cendekiawan (the political role of the intelligentsia).
            Aspek pertama yaitu pembentukan sikap kelompok, dalam arti rakyat Indonesia telah menjadi korban imperialisme budaya, sehingga mereka cenderung menginginkan sistem pendidikan secara terpisah, maka dari itu timbul dua sistem yaitu:
1.         Sistem keagaman Islam
2.         Sistem non keagamaan Islam
3.         Maka lahirlah sekolah Islam, sekolah Kristen dan lain-lain.
            Aspek kedua masalah pengangguran, dalam arti dalam dunia politik seseorang itu dipersyaratkan harus mempunyai pendidikan yang cukup tinggi karena hanya publik yang terdidiklah yang diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan bagi mereka yang berpendidikan rendah pengangguranlah baginya.
            Aspek ketiga peranan politik kaum cendekiawan, dalam arti para cendekiawan mempunyai peranan penting dalam politik, karena merekalah salah satu yang menjalankan roda pemerintahan dan mereka pulalah yang mempengaruhi maju mundurnya politik dalam suatu Negara. Karena yang dinamakan cendekiawan pasti dia adalah orang yang bersal dari kalangan ilmuan pendidikan yang sangat baik. Sehingga dia bisa berpereb dalam dunia politik, yang mana proses dan lembaga-lembega pendidikan memiliki banyak dimensi dan aspek politik. Sedangkan lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.
            Adapun salah satu bukti pengaruh politik terhadap pendidikan yaitu berupa krisis yang dihadapi oleh Negara secara langsung dan vital, hal tersebut sangat mempengaruhi sistem pendidikan karena sistem pendidikan menyediakan tenaga kerja terlatih dan menghasilkan pengetahuan teknis untuk sistem ekonomi merupakan mekanisme yang nyaman, yakni dapat digunakan oleh Negara untuk mendomentrasikan kontrol rasional terhadap kejadian-kejadian ekonomi melalui perencanaan tenaga kerja dan rasio pengeluaran pribadi dan publik.
Merupakan agensi penting sosialisasi dalam rangka melegitimasi tatanan ekonomi dan politik.
Merupakan krusial dalam pengembangan motivasi dan komitmen dikalangan generasi muda.
Dari adanya bukti di atas tampak jelas bahwasannya antara politik dan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun pada dasarnya satu sama lain berlawanan arah, akan tetapi mempunyai satu tujuan. Seperti halnya uang koin, antara lambang mata uang yang depan dengan yang belakang berbeda arah, akan tetapi kaduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Fungsi Politik Institusi Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang system politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Institusi pendidikan sebagai alat kekuasaan?
            Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola piker kaum muda, agar sejalan dengan doktin komunisme.
            Di Indonesia, hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yng dikeluarkan juga untuk menunjang daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32 tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu berpihak pada Soeharto.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 tela membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alas an utama hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
            Sedangkan pada tulisan yang brhubungan dengan fungsi politik dan institusi pendidikan ini penulis mencoba menggunakan pendekatan secara historis, diatas dituliskan sejarah masa orde baru dalam membuat kebijakan pendidikan.
Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan
Pengertian dan Jenis Desentralisasi
            Menurut Bray (1984, hal. 5) desentralisasi adalah “proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi”. Adapun menurut Burnett et al (19950, desentralisasi pendidikan adalah “otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas local yang dapat dipertanggung jawabkan kepada orang tua dan komunitas” Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.”
Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan bisa bersifat politik atau demokratik dan bisa juga bersifat administrastif (Fiske dan Drost 1998, hal. 17-19). Desentralisasi pendidikan bersifat politik dan demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem. Desentralisasi dmiistratif atau birokrasi merupakan suatu strategi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan pejabat-pejabat pusat tetapi tanggung jawab untuk perencanan , manajemen, keuangan, dan kegiatan-kegiatan lainnya diserahkan kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah atau badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem.
            Dilihat dari jenis wewenagnya yang diberikan, desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : Pertama, Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab sebagai manajemen dari pusat ke provinsi atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat mempunyai control penuh. Kedua, Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih ekstensif, dimana lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang ke pemerintah ditingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke organisasi-organisasi otonom. Ketiga, Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya, yakni menyarahkan wewenang keuangan, administrasi atau urusan secara permanent dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di pusat begitu saja.
Catatan:
            Perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas. Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak mengubahkinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status de yure, bukan status de facto system pendidikan nasional.
            Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dala system pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam system pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan milik pemerintah daerah.
            Agar desentralisasi benar-benar mnjadi status de facto system pendidikan nasional, maka desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi. Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.
            Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
Pendidikan Dan Kepentingan Politik: Sekolah Sebagai Alat Politik
Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. 
Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak.Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan.
Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:
Ø  Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
Ø  Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.
        Sedangkan menurut Hari Sucahyo dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin.












BAB III
KESIMPULAN
              
                pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
            Menurut UU No. 20 tahun 2003 pengertian Pendidikan adalah sebuah usaha yang di lakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, membangun kepribadian, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pengaruh Politik Terhadap Pendidikan yaitu Pendidikan dan politik keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang.



















DAFTAR PUSTAKA

Amnur Ali Muhdi. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Pustaka Fahima. Yogyakarta.
Sirozi Muhammad. 2010. Politik Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tilaar, H.A.R. & Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta.
Sirozi, M.2005.Politik Pendidikan.Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
http:/re-searchengines.com/art05-73.html/
http: //www.scribd.com/doc/2058421/politik-indonesia
http:/jawabali.com/pendidikan/politik-pendidkan-557




1 komentar:

  1. Politik sangat berperan dalam proses pembentukan karakteristik
    , pola dan arah pendidikan satu negara, demikian pula lembaga-lembaga pendidikan berperan penting dalam perilaku politik masyarakat. Sehingga terdapat hubungan yang realistis empiris berlaku antara penidikan dan politik ataupun sebaliknnya.

    BalasHapus